CERPEN - TETESAN KERINDUAN


Oleh : Siti Hayuh Sina Isma’u

Kalian tahu seperti apa cerpen? Di dalamnya fokus cerita hanya satu tokoh saja kan. Sama seperti itu, aku ingin menceritakan kisah hidup dari sosok yang luar biasa. Bukan diriku, bukan bupati, bukan gubernur atau bukan presiden. Sosok itu adalah ibuku. Sungguh, sebenarnya tidak ada kata yang cukup mampu mewakili seluruh kekagumanku padanya. Walau baru saat-saat ini saja ku menyadarinya. Aku memang bukan anak yang baik. Tapi Allahku memberi ibu yang amat baik untukku. Allah ampuni hambamu ini. 

Kalian sepakat bukan, bahwa ibu adalah malaikat tanpa sayap yang Allah beri untuk menjaga tangan-tangan mungil tak berdaya saat pertama kali bernafas di alam dunia ini. Seperti itu pula ibuku. Wanita tuna rungu yang harus menanggung beban kehidupan bukan hanya dirinya sendiri tapi juga ketiga buah hatinya. Ya, wanitaku adalah seorang tuna rungu. Kalian tahu bukan? Seperti apa yang disebut tuna rungu itu? Tidak bisa mendengar dan bicara. Bicara baginya hanya suara-suara tidak jelas yang keluar dari mulutnya. Bahkan masih terdengar lebih jelas suara bayi yang baru belajar bicara daripada suara ibuku. 

cerpen


Tentu ibuku memiliki seorang suami. Kalau tidak punya bagaimana bisa kini ia memiliki 3 buah hati. Penyejuk hati pelepas perih, setidaknya itu perkataan ibu yang sudah bisa aku pahami di waktu yang sangat terlambat. Lantas, seperti apa perjuangan suami yang juga pasti menjadi bapakku. Sejujurnya aku tidak ingin membicarakan laki-laki ini. Bahkan kalau boleh aku tidak sudi mengganggapnya sebagai bapakku. Tidak punya bapak juga aku rasa lebih baik. Tapi hati lembut ibuku selalu berusaha meruntuhkan kebencianku pada sosok laki-laki itu. Ibu bilang “Dia bapakmu nang. Kau anak baik, tidak boleh seperti itu.” Oh ibu, kau masih menganggapku anakmu yang baik. Walau semua jejak tapak ku tidak ada yang menceritakan bahwa aku anakmu yang baik. Setidaknya sebelum aku benar-benar menyadari tulusnya cintamu untukku ibu. 

Menceritakan ibuku tidak akan menjauh dari kata ‘perjuangan’ dan ‘kerja keras’. Tidak begitu dengan laki-laki itu. Selama yang aku tahu, kerjaannya hanya menyakiti istri dan anak-anaknya. Entah, kenapa ia menikahi ibuku, jika yang bisa ia lakukan hanya menggoreskan luka. Luka di hati lembut ibu. Mungkin, kehadirannya sebagai salah satu bentuk ujian dari Allah yang diberikan dalam hidup ibuku. 

Ibu memiliki 3 orang anak. Anak sulungnya adalah aku, adik ke dua dan ketigaku semuanya perempuan. Kami terlahir normal, tidak seperti ibuku. Mungkin hal itu yang membuatku dulu tidak terima memiliki seorang ibu yang tuna rungu. Ya, seperti itulah aku dulu. Sampai masa penghujung SMA berakhir, aku masih menganggap ibu tidak pantas menjadi ibuku. Jahat bukan? Sama jahatnya dengan bapakku? Tidak. Masih ada kebaikan yang ada di dalam diriku. 

Sejak kecil, aku rasa ibu yang membiayai kebutuhan keluarga. Laki-laki itu? Kemana dia? Jangan ditanya. Dia pergi dan kembali sesuka hidungnya. Saat usiaku 2 tahun dia pergi, datang lagi lahirlah adikku, saat adik pertamaku 1 tahun dia kembali pergi. Saat itu, walau usiaku masih 5 tahun aku sudah berharap dia tak akan kembali lagi. Tapi, dia kembali datang, dan lahirlah adikku yang ketiga. Kali ini lebih parah, saat adikku baru berusia 6 bulan, laki-laki itu kembali pergi. Tidak ada yang bisa menjamin kapan ia akan kembali dan membawa nestapa berikutnya untuk ibuku. Mungkin, ibu sudah sangat letih dengan sikap pecundangnya. Walau tidak berkata apa apa, saat adik ketigaku berusia 13 bulan, ibu membawa kami semua pergi dari rumah. Ke mana? Tidak tahu, yang jelas untuk menghindari laki-laki yang bisanya datang lalu pergi. Ya Allah ampunilah dosa laki-laki itu. 

Di tempat yang baru, kami tinggal di gubuk reot pinjaman seorang pemilik pabrik pembuatan batu bata merah yang kaya raya. Di sana juga ibu bekerja sebagai buruh pembuat batu bata. Kalian tahu bagaimana cara membuat batu bata merah? Sungguh proses pembuatan yang cukup rumit dan panjang, apalagi untuk seorang pemula seperti ibuku. Salah sedikit ibu langsung dibentak oleh ibu pemilik pabrik. Padahal ibuku juga baru belajar membuatnya, salah juga masih dimaklumi kan seharusnya. Apalagi ibu menggendong serta adik ketigaku yang kala itu baru berusia 13 bulan. Jatuh sedikit tanah liat yang ibu bawa, semburan omelan langsung menampar wajah ibuku. Apa maunya ibu pemilik pabrik itu. Hanya ibuku yang dimarahi habis habisan olehnya. Belum lagi saat proses pembakaran batu bata setengah jadinya. Ibu ditempatkan seorang diri untuk menjaga tungkunya. Panas dan gerah berkolaborsi menambahkan penderitaan untuk ibuku. 

Saat itu aku sudah mulai masuk SD. Riang sekali hatiku. Ibu membelikanku tas baru dan sepatu baru. Ia melamar pekerjaan tambahan sebagai buruh cuci, gosok di rumah salah seorang tetangga jauh kami. Kenapa aku bilang jauh? Karna di dekat gubuk kami jika dilihat dari sebelah kanan, kiri, depan, belakang, tidak ada rumah siapapun, kecuali rumah megah milik ibu ibu kaya raya pemilik pabrik batu bata merah itu beserta tempat produksinya. Itupun tidak terlalu dekat. Gubuk kami hanya di kelilingi pohon-pohon dan ilalang, persis seperti hutan, ya, gubuk reot di tengah hutan berisi wanita tuna rungu dengan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil tanpa sosok laki-laki yang seharusnya menjadi pemimpin dan melindungi mereka dengan kasih sayang. 

Kalian pasti bertanya, bagaimana caranya kami bisa bertahan di tempat yang menyeramkan seperti itu. Mau kemana lagi? Ya, itu adalah jawabannya. Gubuk ini, juga pekerjaan yang menyiksa dari ibu ibu pemarah itu masih sangat dibutuhkan ibuku. Saat itu, hanya jalan yang sedang kami lalui yang bisa menghidupkan kami. Di tambah, aku, anak sulung laki-laki kebanggaannya sudah masuk Sekolah Dasar. Tentu ibu ingin sekali memenuhi kebutuhanku dengan baik. Walau tidak mewah, tapi apa yang kubutuhkan sebagai siswa Sekolah Dasar semuanya ada. Bagi ibu, aku adalah anak emasnya. Mungkin karna kini aku satu-satunya laki-laki yang ia punya. Ibu menaruh harapan besar agar kelak ketika kakiku bisa berdiri sendiri, tanganku sudah kekar, badanku sudah tegap, aku bisa membahagiakan ibu dan kedua adik perempuanku. Menjaga dan melindungi mereka. Tapi ternyata, aku harus sedikit mengecewakannya. Ampuni aku ya Allah. 

Bahkan ketika itu, aku meminta crayon dan buku gambar untuk dibawa kesekolah sebagai tugas SBK dari guruku. Dua hari berikutnya, aku pulang dari sekolah, aku dapati adik pertamaku, Humaira namanya, sedang bermain dengan ke dua benda yang aku minta ke ibu lusa kemarin. Karna merasa aku yang meminta benda itu, langsung ku ambil dari kedua tangan adikku. Adikku yang kaget sontak menangis saat mengetahui benda yang sedang asik ia mainkan diambil paksa. Tak butuh waktu lama, terdengar tangis Humaira memecah kedamaian. Aku acuh tak acuh dengan tangis adikku itu. Tak lama, ibu dan adik bungsuku masuk. Ibu tidak berkata apa-apa, ia melihat crayon dan buku gambar di tanganku, lalu tersenyum. Saat itu aku belum mengerti apa arti senyuman ibu. Aku pikir aku akan dimarahi karna membuat Humaira yang sedang tenang menjadi ribut dengan airmata dan rengekanya. Dengan tetap menggendong adik bungsuku yang memang belum bisa berjalan, ibu menarik tangan Humaira dan menuntunnya dengan lembut ke belakang gubuk. Adikku itu nurut saja, walau tetap dengan linangan airmata di pipinya. Aku tambah tak acuh dengan adegan itu, aku taruh tasku dan sibuk dengan crayon dan buku gambar baruku. 

Ternyata tangis Humaira adikku tak terdengar lagi. Aku sedikit penasaran, dan mengintipnya dari pintu reot gubuk kami. Di sana, ibu dan Humaira sedang tertawa. Tak terihat lagi kini airmata dan rengekan yang tadi menghiasi wajah manisnya. Humaira sudah larut dalam kebahagiaan bersama ibuku. Aku bingung, kenapa tangis Humaira bisa reda. Apa yang ibu katakana padanya? Untuk mengeja saja ibuku tidak mampu. Lantas apa yang membuat Humaira mengerti kalau tangisnya harus segera dihentikan. 

Jawaban keherananku baru aku temukan belakangan ini. Senyum ibu dan bagaimana Humaira mau menghentikan tangisannya. Senyum ibuku saat itu berkata bahwa crayon dan buku gambar yang aku rebut dari tangan Humaira memang milikku, memang dibelikan untukku, tak masalah aku mengambilnya walauun dengan cara merebut dari Humaira yang sedang asik memainkannya. Dan mengapa tangis Humaira bisa berhenti, padahal tangisannya itu cukup bisa membuat ibu ibu pemarah pemilik pabrik batu bata merah itu bangun dan menghampiri gubuk kami. Ternyata, walau ibu berbicara dengan sangat tidak jelas, tapi Humaira kecil bisa memahaminya. Dia tahu ibu terkasihnya meminta ia diam walau bukan dengan kata-kata yang jelas. Humaira kecil sudah mengerti seperti apa luar biasanya kasih yang diberikan ibu tuna rungunya itu. Satu lagi. Kalian sudah tahu ibuku adalah seorang penyandang tuna rungu, yang berarti ia tidak bisa mendengar dan berbicara. Tetapi, luar biasa, ibu tahu setiap ada anak-anaknya yang menangis. Batin halusnya sebagai seorang ibu ternyata membimbing ia untuk mendengar apa gerangan yang terjadi pada anak-anaknya. 

Tapi malangnya nasib ku saat itu karena tidak dapat merasakan sayang dan cinta ibuku. Aku mengabaikan segala yang ibu lakukan padaku. Segala upayanya untuk selalu membahagiakanku dengan ke dua tangan dan kakinya, dengan peluh keringat dan harga dirinya. Seingatku, aku tidak pernah kasar pada ibu, aku hanya tidak pernah mengganggap keberadaannya, mengabaikan perhatiannya, dan melewatkan setiap senyumnya. Itu terasa lebih menyakitkan pasti untuk ibuku. Tapi ibu tidak pernah menyerah, ia tidak pernah bosan tersenyum padaku. Senyum yang tenyata memang begitu manis sekaligus menyakitkan saat ini untuk kuingat. 

Sampai datang hari pengambilan rapot terakhirku di kelas 6 Sekolah Dasar. Aku tidak pernah berniat untuk memberi tahu ibu. Dari kelas 1 aku juga mengambilnya sendiri. Aku beralasan kalau ibuku itu seorang yang sangat sibuk. Aku bersyukur bisa selalu lolos dari pertanyaan semua guru yang pernah menjabat sebagai wali kelasku. Mereka hanya bingung kenapa ibuku tidak pernah bisa hadir mengambil rapot anaknya. Tapi ku rasa itu tidak terlalu menjadi soal, karena aku selalu bisa mendapat peringkat tiga besar di kelas. Akupun anak yng baik di sekolah, tidak pernah mencatat masalah. Sehingga, tidak ada hal gawat yang harus disampaikan pada ibuku secara langsung. 

Aku berdandan sangat rapi. Kutinggalkan ibu yang sudah sibuk dengan pekerjaannya. Adik adikku juga mengambil rapot hari ini. Mereka adalah Humaira adik pertamaku, saat ini dia sudah kelas 3 SD. Adik bungsuku Azizah sekarang masih kelas 1 SD. Mereka bersekolah di sekolah yang berbeda denganku. Saat itu aku bersyukur, karena aku tidak harus melihat kedatangan ibu di sekolahku. Karena berbeda denganku, ke dua adikku senang-senang saja diambilkan rapot oleh ibu. Mereka memang anak-anak yang baik, tidak sepertiku. 

Aku tidak mengatakan apa-apa kepada ke dua adikku. Pertanyaan Humaira tentang apakah aku juga mengambil rapot hari ini hanya kubalas dengan senyum. Aku berangkat dengan sepeda yang diberikan ibu saat aku naik kelas 4. Ini merupakan hari yang special untukku. Karna di hari ini adalah hari perpisahan di Sekolah Dasar tempatku belajar. Akan ada hadiah untuk siswa berprestasi, dan aku tahu itu adalah aku. Memang sombong betul diriku ini. Tapi aku sudah dapat merasakannya, karena tidak ada murid lain yang sepintar dan sebaik diriku di sekolah itu. 

Betul saja, dipanggung itu namaku dipanggil dengan lantang untuk menerima piala sebagai siswa berprestasi di tahun ini. Semua yang hadir bertepuk tangan untukku. Aku naik ke atas panggung dengan dada yang dienuhi oleh perasaan senang dan bangga. Aku terima piala itu lalu tersenyum. Tak sengaja mataku menangkap sosok yang begitu aku kenal. Ibu tuna runguku, hah kenapa bisa ada ibuku di sini? Siapa yang memberi tahunya tentang pengambilan rapot dan acara perpisahanku? Apakah Humaira? Tidak, dia tidak tahu apa apa. Apa ibu membaca surat pemberitahuan yang sudah aku simpan rapih di dalam tasku? Apa ibu bisa membaca? Semua pertanyaan itu membuatku terbengong sepersekian detik. Setelah sadar langsung aku turun dan mengacuhkan lambaian juga senyum ibuku dari deret kursi paling belakang itu. Aku memilih menyudahi acara foto-foto di atas panggung tadi, daripada nanti semua orang tahu, kalau yang melambaikan tanggan kepadaku adalah ibuku. Ibuku seorang yang tidak bisa mendengar dan berbicara dengan tidak jelas. Hal itu yang sangat aku jaga rapat-rapat dari semua teman dan guru-guruku. Aku tidak ingin mereka tahu kalau aku anak dari seorang wanita tuna rungu. 

Langsung aku pergi dari acara itu, tak ku gubris pertanyaan guru dan teriakan teman-temanku. Buatku, semua sudah selesai. Acara yang aku nantikan ini sudah berakhir. Aku tidak mau lebih lama lagi berada di tempat itu. Aku menuju parkiran tempatku menaruh sepeda. Saat itulah ada seseorang yang menarik lembut tanganku. Sejurus kemudian aku menoleh. Kini di hadapanku berdiri wanita itu, ibuku. Langsung kulepaskan tanganku. Seperti biasa, ibu hanya tersenyum. 

“Ibu ngapain sih ke sini?” (nada kunaikkan) 

Ibu memberikan benda yang terbungkus kertas kado ke tanganku. Aku membuangnya ke tanah. Ibuku kaget menyaksikan itu. Ia hanya diam memandang hadiah yang sudah ia siapkan untuk putra kesayangannya ini. 

“Aku ga suka ibu ke sini” 

Belum puas, aku pun melempar piala yang sedari tadi ku genggam erat ke tanah. Kini ada dua benda di bawah kaki kami berdua. Kali ini ibu terlihat sangat kaget, mimik wajahnya juga berubah menjadi khawatir. Ia jongkok dan berusaha mengumpulkan piala yang kini tak berbentuk seperti awalnya. Kepala piala itu copot. Tidak kuperdulikan apa yang sedang ibuku lakukan. Ku kayuh sepedaku menjauh dari ibu. Sampai keluar gerbang, tidak ku tolehkan sama sekali wajah ini kebelakang. Tak tentu arah aku membawa sepedaku, yang jelas saat itu aku tidak ingin melihat ibuku. Satu keinginan yang membuat sesal seumur hidup dalam hatiku. 

Setelah aku mereda, barulah aku berpikir ingin pulang. Sebenarnya karna rasa lapar yang merongrong perutku. Ku kayuh lagi sepeda pemberian ibu pulang ke rumah. Sampai di depan gubuk, aku melihat ibu beserta ke dua adikku sedang di maki-maki oleh ibu ibu kejam itu. Ada apa ini? Azizah digendongan ibu, dan Humaira berdiri kaku di belakang ibuku, matanya terlihat mengintip wanita yang sedang memarahi ibunya. Aku menyandarkan sepedaku, dan mendengarkan apa yang ibu-ibu itu katakan. Singkatnya kami diusir dari gubuk reot itu, juga dari pekerjaan ibu. Dia menuduh ibu sudah menggoda suaminya. Suami ibu itu memang sangat genit terhadap ibuku. Selama 6 tahun ini tidak terhitung dia mendatangi gubuk kami, secara diam-diam pastinya. Tapi ibu selalu bisa meloloskan diri. Itu alasan ibu selalu mengunci rapat pintu gubuk kami jika hari sudah mulai terlihat gelap, saat siang ibu juga lebih sering berada di pabrik pembuatan batu bata merah itu. Ternyata untuk menghindari laki-laki genit suami dari ibu pemilik pabrik batu bata merah. 

Sudah gila aku rasa ibu kaya raya ini. Bagaimana mungkin seorang wanita tuna rungu dengan segala kelemahannya menafkahi dan menjaga ketiga anak-anaknya yang masih kecil bisa menggoda laki-laki jelek seperti suaminya. Suaminya saja yang kegenitan terhadap ibuku. Jika kalian ingin tahu, ibuku memang memiliki paras yang cukup menarik, kulitnya yang kuning langsat, hidungnya yang sedikit mancung dan senyumnya yang ternyata sungguh manis. Mungkin ini alasan suami ibu kaya raya itu menggodanya. Ini juga alasan bapakku tiga kali datang dan pergi kepada ibu waktu dulu. 

Akhirnya, kami berempat harus angkat kaki dari gubuk reot itu. Bercampur aduk rasa yang hadir di hatiku. Rasa kesalku tadi di acara perpisahan, rasa senang karna bisa juga aku pergi meninggalkan gubuk menyedihkan itu, dan terakhir rasa takut harus kemana kaki kami melangkah selanjutnya. 

Sepertinya ibu tidak terlihat takut. Raut wajahnya meyakinkan. Sambil menggendong Azizah, memanggul tas berisi pakaian kami, tangan sebelah kanan menggandeng tangan Humaira dan tangan sebelah kiri menggandeng tanganku. Awalnya aku melepas gandengan itu, tapi ibu berusaha mengambilnya lagi. Ingin aku lepas, tapi kali ini ibu mengenggam tanganku lebih erat. Aku hanya terdiam, sempat kurasakan kehangatan yang menyetrum hatiku lewat genggaman tangan ibu. Tapi sekali lagi aku mengabaikan itu. 

Ibu mengontrak bangunan dua petak yang ada di dalam gang kecil. Mungkin kali ini ibu tidak mau terasing lagi. Bagi kami ini adalah sebuah rezeki yang besar. Tinggal di bangunan yang layak disebut rumah dengan atap yang tidak bocor jika hujan turun. Lantai ruangan yang putih bersih. Bagaimana bisa ibu mengontrak rumah ini? Semua adalah hasil kerja kerasnya selama 6 tahun mengabdi kepada ibu kejam kaya raya itu. Adik adikku terlihat begitu gembira, mereka langsung tidur-tiduran di lantai ruangan. Baru kali ini mereka bisa seperti itu, karna selama ini lantai rumah mereka adalah tanah. Aku juga senang sesungguhnya. Senyum kembali hadir di wajahku, tak sengaja mataku dan mata ibu beradu, ibu tersenyum seperti biasa kepadaku. Senyum yang begitu manis. 

Sekolah SMP dan SMAku, ibu mengirim aku ke kota lain untuk bersekolah dan tinggal di rumah pamanku. Akhirnya aku menemukan orang lain yang bisa menjadi keluargaku. Hatiku senang sekali. Itu berarti aku bisa melanjutkan menuntut ilmu. Aku pikir, aku hanya akan menjadi tamatan SD. Ibu dan kedua adikku, mengantar sampai bertemu paman di terminal bus kota kami. Ternyata laki-laki berperawakan teduh itu adalah sepupu dari ibuku. Katanya ia sangat senang bisa bertemu kami. Selama ini paman juga sudah mencari-cari ibu ke mana mana, tetapi tidak pernah ketemu. Paman sangat gembira mendapat surat dari ibu yang meminta bantuan untuk menjagaku. 

Di terminal, perpisahan kami. Ibu memberi selembar amplop kecil yang di dalamnya ada secarik kertas putih. Aku rasa itu surat untukku. Aku menaruhnya ke dalam kantung jaket, tapi ibu mengambilnya lagi, lalu ia masukkan ke dalam dompet di ranselku. Mungkin ibu tahu aku akan mengacuhkannya, dan ia takut aku menghilangkannya. Senyumnya seakan berbisik kalau ibu yakin suatu saat nanti aku akan membacanya. 

Akupun menjalankan masa SMP lalu berlanjut SMA di kota tempat pamanku tinggal. Masih dengan prestasiku yang begitu cemerlang. Paman sangat bangga. Sampai pada hari kelulusan SMAku paman memulai pembicaraan yang tak henti meneteskan airmata penyesalanku. Dengan piala dan sertifikat siswa berprestasi, aku duduk di hadapan paman untuk mendengar semua kisahnya. Ia bertutur tentang miripnya kepintaranku dengan ibuku. Walau tuna rungu, ternyata ibuku adalah seorang anak perempuan yang sangat cerdas. Meruntuhkan kesombonganku selama ini, yang beranggaan bahwa kepintaran yang ada, adalah hasil dari perjuanganku sendiri. 

Ibu pandai membaca dan menulis, karna itu ia banyak menulis puisi, cerpen bahkan novel. Tapi sayangnya sekolah ibu hanya bisa sampai SMP saja. Episode kepahitan hidup ibuku bermula saat bertemu dengan laki-laki yang ternyata tidak bertanggung jawab itu. Ibu menikah dengannya dan pergi meninggalkan kota kelahirannya, Sumedang. 

Saat itu juga, aku merasakan kerinduan hebat yang merasuk ke dalam hatiku. Aku ingin bertemu ibu dan ke dua adikku. Tidak lusa, tidak besok, tidak nanti, harus saat ini juga, detik ini juga. Setelah mengutarakan hal itu pada paman, ia mengizinkan aku pulang bertemu ibu dan kedua adikku. 

Di perjalanan ku habiskan waktu bernostalgia dengan masa kecilku yang ternyata sangat manis bersama ibuku. Dan surat, ohiya surat dari ibu yang dulu ia berikan padaku di terminal bus sebelum aku berangkat ke Sumedang. Tak pernah berganti posisi, surat itu masih ada di dalam dompet lusuhku. Aku baca, dan mengalir sekali lagi airmataku. Ibuku ini ternyata sungguh pintar merangkai kata, diksinya dahsyat menusuk relung hatiku. Aku merindukanmu ibu. Tunggu, sebentar lagi anak laki-laki kebangganmu pulang. 

#cerpen dewasa #cerpen keluarga #cerpen hikmah

Posting Komentar untuk "CERPEN - TETESAN KERINDUAN"