Ketika Aqidah Tidak Lagi Lurus
Bagi seorang muslim dan muslimah, aqidah
Islamiyah adalah segala-galanya. Aqidah yang benar dan lurus merupakan
perkara yang paling penting, mutiara yang paling berharga yang harus
dimiliki dan dijaga oleh setiap muslim dan muslimah. Tidak boleh ditawar
lagi, atau dalam kata lain perkara ini adalah harga mati. Sebab, aqidah
yang benar dan lurus diibaratkan ruh bagi jasad, atau kepala dari
sebuah batang tubuh. Tanpa ruh, jasad berarti mayat. Tanpa kepala,
batang tubuh tidak berarti apa-apa.
Aqidah yang benar dan lurus adalah
pondasi dari seluruh amal shaleh, amalan yang bermanfaat bagi seorang
muslim itu sendiri baik di dunia atau di akhirat. Tanpa aqidah yang
benar dan lurus, tidak ada yang namanya amal shaleh. Tanpa aqidah yang
benar dan lurus, tidak ada amalan yang bermanfaat bagi seorang hamba di
hadapan Allah ta’ala. Tanpa aqidah yang benar dan lurus, yang ada
hanyalah penyimpangan demi penyimpangan.
Kerusakan aqidah seorang hamba akan
menyebabkan rusaknya fitrah pada hamba itu sendiri. Padahal, seorang
hamba dituntut untuk menjaga kelurusan fitrahnya agar ia bisa
menghambakan dirinya kepada Allah sebagai ilah satu-satunya yang berhak
untuk disembah dengan benar. Inilah tujuan setan, yakni memalingkan atau
merusak fitrah manusia sebagai hamba Allah semata. Ketika fitrah itu
rusak, maka manusia akan mencari ilah-ilah yang lain sebagai sesembahan
selain Allah. Ada yang menghambakan dirinya kepada api sebagaimana
orang-orang Majusi; ada yang menghambakan dirinya kepada matahari
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Shinto; ada yang
menghambakan dirinya kepada sapi sebagaimana yang dilakukan oleh kaum
musyrik Hindu; ada yang menghambakan dirinya kepada patung-patung yang
menurut mereka patung-patung tersebut merupakan visualisasi dari
dewa-dewa mereka yang menguasai alam ini dan lain sebagainya. Semua
penghambaan diri kepada selain Allah itu bermula dari kerusakan fitrah
seorang hamba.
Allah berfirman,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِفًا
فِطْرَتَ اللهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ
اللهِ ذَ ٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ
لَايَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu
dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui” (QS. Ar Ruum: 30)
Maka, aqidah yang benar adalah aqidah
yang berasal dari Allah ta’ala, apa yang diajarkan oleh Allah kepada
Rasul-Nya. Oleh karena itu, sumber aqidah yang benar adalah yang
bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih sebagaimana yang
diajarkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, kemudian diajarkan oleh
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada generasi yang hidup di zaman beliau hidup, mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Aqidah inilah yang menjadi asas dari amalan seorang hamba. Diterimanya
amalan seorang hamba jika ia melakukan amalan tersebut dengan landasan
aqidah yang benar dan lurus.
Aqidah Yang Benar dan Lurus (shahihah) VS Aqidah Yang Menyimpang (Bathilah)
Jika aqidah yang shahihah sumbernya
adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, maka aqidah bathilah adalah
lawan dari aqidah shahihah. Aqidah bathilah tidak diambil dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah yang shahih, melainkan diambil dari kepercayaan nenek
moyang, leluhur, adat istiadat, taqlid buta, diambil dari keyakinan
sebuah kelompok, tokoh tertentu, fanatisme golongan, dan dari akal yang
tidak sehat.
Allah berfirman tentang orang-orang semacam ini,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا
أَنْزَلَ اللهُ قَلُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ
ءَابَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَابَاءُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْءً وَلَا
يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan
kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka
menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami
dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan
mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS. Al-Baqarah: 170)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman,
فَلَمَّا جَاءَهُم مُّوسَىٰ بِءا يٰتِنَا
بَيِّنٰتٍ قَالُواْ مَا هٰذَا إِلَّا سِحْرٌ مُّفْتَرًى وَمَا سَمِعْنَا
بِهٰذَا فِى ءَابَاءِنَا الْأَوَّلِينَ
“Maka tatkala Musa datang
kepada mereka dengan (membawa) mukjizat- mukjizat Kami yang nyata,
mereka berkata: “Ini tidak lain hanyalah sihir yang dibuat-buat dan Kami
belum pernah mendengar (seruan yang seperti) ini pada nenek moyang Kami
dahulu”. (QS. A-Qashash: 36)
Ayat-ayat di atas menceritakan kepada
kita tentang keadaan umat sebelum kita yang mengambil ajaran dari para
nenek moyang mereka, corak buruk dari taqlid buta kepada ajaran nenek
moyang mereka, termasuk dalam hal ini adalah mereka mengambil aqidah
dari apa yang diajarkan oleh nenek moyang mereka, atau tokoh-tokoh
mereka yang terdahulu meskipun nenek moyang mereka berada dalam
kesesatan dan kebodohan. Oleh karenanya, mereka terus berada dalam
kubangan kebodohan dan kesesatan yang berkepanjangan.
Bahaya Rusaknya Aqidah
Jika
aqidah yang rusak tidak menimbulkan dampak buruk, maka hal itu tentu
lebih ringan. Akan tetapi, rusaknya aqidah memberikan efek dan dampak
buruk yang begitu berbahaya kepada manusia itu sendiri. Ada banyak
dampak buruk yang ditimbulkan dari rusaknya aqidah seorang hamba. Akan
tetapi, saya hanya akan menyebutkan satu saja dampak buruk yang
ditimbulkan berkenaan dengan fenomena yang ada di masyarakat. Dampak
buruk itu adalah mengakibatkan kehinaan, keterbelakangan dan kerendahan
umat Islam sepanjang masa dan tempat.
Diantara sebab yang paling utama dari
kehinaan, keterbelakangan dan kerendahan yang melanda umat Islam adalah
rusaknya aqidah umat. Tidak kita pungkiri bahwa betapa banyak fenomena
yang menunjukkan kerusakan aqidah tengah melanda umat dalam sebuah
masyarakat. Fenomena itu beragam bentuknya. Ada yang berupa tradisi,
budaya, atau kepercayaan tertentu.
Tanggal satu suro (01 Muharram) adalah
waktu yang disakralkan oleh sebagian kaum muslimin. Di waktu tersebut
terjadi sebuah fenomena yang sangat memprihatinkan dan menyayat hati
kita. Sebuah upacara diadakan guna memperingatinya.
Memperingati tahun baru Islam yang jatuh
pada tanggal 1 Sura, Keraton Surakarta mengadakan kirab pusaka
mengelilingi keraton. Kirab pusaka itu banyak menyimpan hal-hal yang
mistis, salah satunya ditandai oleh Kebo Bule Kyai Slamet yang memimpin
kirab.
Kirab pusaka 1 Sura merupakan upacara
adat yang tergolong baru, karena baru berlangsung sekitar tahun 1973
sampai sekarang. Kirab tersebut melambangkan hijrah Nabi Muhammad dari
Mekah ke Madinah. Bagi warga masyarakat, kirab pusaka 1 Sura dipercaya
sebagai sarana tolak bala atau hal-hal yang bersifat jahat.
Prosesi kirab pusaka tidak terlepas dari
Kebo Bule milik Keraton Surakarta. “Saat kirab akan berlangsung, atas
kemauannya sendiri Kebo Bule Kyai Slamet berjalan menuju ke Kori
Kamandungan dan menunggu rombongan abdi dalem keluar membawa pusaka
untuk dikirab,” papar Hadi, abdi dalem Keraton Surakarta kepada
Timlo.net Sabtu (30/10).
Kirab pusaka 1 Sura berjalan dengan
rombongan Kebo Bule Kyai Slamet yang berada paling depan. Kerbau itu
berjalan tanpa ada abdi dalem yang mengarahkannya dan seakan-akan sudah
mengetahui rute yang dilewati. “Kyai Slamet biasanya menjadi ikon kirab
pusaka yang diadakan setiap tanggal 1 Sura, karena kotoran kerbau
tersebut sering menjadi rebutan masyarakat,” tambah Hadi.
Di Keraton Kasunanan Surakarta, ada
sekawanan kerbau (kebo) yang dipercaya keramat, yaitu kebo bule Kyai
Slamet. Bukan sembarang kerbau, karena hewan ini termasuk pusaka penting
milik keraton. Setiap tahunnya kerbau-kerbau itu dikirab, yakni sebuah
ritual memperjalankan kerbau-kerbau itu secara bersama-sama. Selain
dianggap keramat, kotoran kerbau-kerbau ini dianggap memiliki berkah dan
mendatangkan kebaikan sehingga menjadi rebutan masyarakat yang memadati
lokasi kirab. Allahulmusta’an.
Ketika aqidah tidak lagi lurus, maka
seolah-olah akal tidak lagi berfungsi dengan baik. Sehingga mereka
menghinakan diri kepada kerbau-kerbau, berebutan untuk mendapatkan
kotoran yang keluar dan mengharapkan berkah dari kotoran tersebut.
Itulah dia dampak buruk dari rusaknya aqidah Islamiyyah dari diri
seseorang. Seseorang menjadi hina, terbelakang mental dan menjadi
rendah. Seolah-olah derajat seekor kerbau bule lebih mulia dari
derajatnya.
Tidak peduli orang yang bertitel tinggi,
tidak peduli orang yang berkedudukan tinggi, ketika aqidah mereka rusak,
mereka menjadi orang-orang yang terhina, rendahan dan terbelakang.
Tidak ada fungsinya lagi titelnya tersebut manakala aqidahnya telah
rusak. Lihatlah apa yang mereka lakukan terhadap kerbau-kerbau itu,
meskipun kerbau-kerbau itu telah mati. Perhatikan gambar-gambar berikut
in yang menceritakan kepada kita tentang prosesi penguburan “jenazah”
sang kerbau:
Oleh karena itu, kemuliaan itu hanya
dimiliki oleh orang-orang yang beriman, yakni orang-orang yang memiliki
aqidah yang benar dan lurus sebagaimana yang bersumber dari ajaran
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, sebagaimana yang telah diajarkan
oleh Allah kepada Rasul-Nya kemudian diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
kepada para sahabatnya. Adapun orang-orang yang rusak aqidahnya, mereka
akan menuai kehinaan demi kehinaan, keterbelakangan dan kerendahan,
meskipun mereka memiliki kedudukan tinggi dengan gelar-gelar akademik
yang bertumpukan. Allaahua’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Abu Shofiyah Aqil A
Publikasi : Ryn Oedin Blog
Posting Komentar untuk "Ketika Aqidah Tidak Lagi Lurus"
Posting Komentar